Rabu, 28 September 2016

apakah kelulusan ini akan membuat aku menjadi beban negara atau menjadi kontributor untuk kemajuan negara?

Rasanya baru kemarin aku sampai di kota pahlawan ini, hadir di antara ribuan calon mahasiswa baru di gedung BAAK samping gedung Rektorat milik kampus berperingkat empat nasional. Didampingi Ibu dan Ayahanda tercinta, melepas putranya yang akan menjalankan studi sarjananya di kota yang jaraknya 825km dari rumah. Anak yang sejak TK sampai SMA selalu berada di dekat rumah, yang hanya bertahan satu minggu ketika dititipkan di pondok yang ada di Sukabumi. Tetapi apadaya, besi sudah terlanjur menjadi baja dan tidak mungkin akan kembali menjadi Bijih besi kembali. Studi di kota pahlawan merupakan pilihan pribadi, yang sudah aku ikrarkan sejak duduk di bangku kelas 2 SMA, dan Alhamdulillah Allah memberikan jalan dan kemudahan dengan segala Kuasa-Nya. Niat sudah terlanjur bulat, tekad sudah terperosok dalam di dalam hati, hati pun sudah ikhlas untuk pertama kalinya berusaha survive tanpa keluarga. Masih teringat betul jika kedua orang tua hanya menemaniku selama satu hari dan esoknya pun kembali pulang meninggalkan di sudut kamar sempit hanya beralas karpet karet dan kasur lampung yang akan membuat rusukkuu sakit ketika berjuang melawan dinginnya malam.
Time flies so fast, begitu kalau kata anak zaman sekarang. Waktu memang bergulir begitu cepat, disinilah awal mula diriku ditempa, didera, disiksa, dan dipaksa tentunya untuk menjadi pemuda yang dewasa, mandiri, matang, dan berpengalaman. Masa-masa awal perkuliahan terasa begitu lama dan sulit, adaptasi dari metode belajar ketika SMA dan kuliah membutuhkan waktu karena keduanya sangat berbeda. Belum lagi kegiatan mahasiswa baru yang sangat padat, layaknya anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang setiap harinya rapat, kami pun sebagai mahasiswa baru begitu. Hampir setiap sore hingga larut malam kami rapat, dimana agenda rapat kadang terasa tidak penting tapi sungguh rapat itu membuat kami mahasiswa baru menjadi saling kenal satu sama lain, sehingga kami sampai hapal nama lengkap, nomer induk mahasiswa, dan asal daerah. Bahkan terkadang, hari libur kamipun dirampas untuk kegiatan-kegiatan mahasiswa baru yang sangat padat. Every day is Monday, begitulah kira2 gambaran aktivitas kami ketika tingkat satu masa studi.

Begitu banyak kenangan, pengalaman, dan pembelajaran yang aku lalui selama masa studi, tanpa terasa empat tahun sudah aku menjalani masa studi di kampus tercinta dengan begitu banyak cerita pahit dan manis yang menjadi penyedap di sela-selanya. Hari ini, resmi sudah aku menyandang gelar ST (Sarjana Teknik), meskipun tidak mendapatkan IPK yang sempurna tetapi hari ini aku sangat bahagia, bukan bahagia karena sudah menyelesaikan masa studi melainkan hari ini aku diantar kembali oleh kedua orang tuaku tetapi kali ini bukan untuk mendaftar ulang sebagai mahasiswa baru melainkan untuk pamit di hadapan rektor dan para guru besar. Pamit untuk mengucapkan terimakasih yang sangat dalam karena baktinya untuk ikhlas mendidik dan mendewasakan pola fikirku. Wisuda bukan menjadi akhir tetapi yang aku rasakan wisuda merupakan babak baru dari kehidupan yang sebenarnya dimana ketika di kampus aku hanya bersaing dengan 100-1000 orang tetapi di dunia karier aku harus bersaing dengan ribuan bahkan jutaan orang yang membutuhkan pekerjaan yang di negeri ini sangat sulit didapatkan. Hari ini akan timbul pertanyaan, apakah kelulusan ini akan membuat aku menjadi beban negara atau menjadi kontributor untuk kemajuan negara? Welcome to the real life!

Selasa, 13 September 2016

Meneladani Keluarga Nabi Ibrahim A.S

Tulisan di bawah ini merupakan ringkasan dari khotbah shalat Idul Adha KH. Abdul Hasib Hasan, Lc di Pesantren Terpadu Darul Qur'an Mulia (DQM) 1437H.

Di zaman yang saat ini sedang mengalami krisis multidimensi, ketika degradasi moral terjadi di semua kalangan. Ayah yang lupa dengan peran dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin rumah tangga, Ibu yang hanya sibuk menghabiskan uang ke pasar untuk berbelanja, dan anak remaja yang sibuk dengan permainan yang melalaikan tanggung jawabnya maka kita membutuhkan tiga sosok manusia yang mewakili semua pemeran dalam suatu keluarga, yaitu sosok Nabi Ibrahim A.S, Siti Hajar, dan Ismail A.S. 
Mengapa Nabi Ibrahim A.S?karena Nabi Ibrahim merupakan kekasih Allah yang diberi gelar sebagai pemimpin umat manusia karena ketaatan dan kesungguhannya dalam menyelesaikan perintah Allah SWT dengan sempurna.
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim AS diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim".(QS:2:124). Ada beberapa poin yang bisa kita jadikan ibroh dari sifat dan karakter dari Nabi Ibrahim A.S, diantaranya adalah:
  • Hanif
Nabi Ibrahim A.S adalah seorang hamba yang hanif, hanif disini bermakna berkomitmen untuk membela dan memperjuangkan kebenaran sehingga kita tidak akan memposisikan diri kita untuk membenarkan apalagi memperjuangkan kezaliman. hal ini dibuktikan ketika beliau memiliki keberanian di usia yang masih muda untuk menumpas segala bentuk kemusyrikan yang terjadi, dengan menghancurkan berhala-berhala yang dijadikan sesembahan meskipun beliau mengetahui resiko dan konsekuensinya, tetapi komitmen Nabi IbrahimA.S sudah jelas untuk membela dan memperjuangkan kebenaran.
  • Syukur
Bersyukur terhadap apa yang Allah berikan kepada kita akan membuat hati kita menjadi lapang, tidak ambisius sehingga kita tidak berambisi untuk menjadikan dunia sebagai orientasi hidup kita. 
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema’lumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS:14:7). Sesungghunya yang membuat hidup kita terasa sempit bukan nominal gaji yang kita peroleh, tetapi rasa syukur yang tidak pernah bertambah setiap harinya atas nikmat yang telah Allah karuniakan.
  • Yakin
Di usia yang sudah tua, Nabi Ibrahim A.S tidak pernah berhenti dan putus asa untuk berdoa kepada Allah agar diberikan keturunan meskipun secara biologis sudah tidak mungkin tetapi Nabi Ibrahim A.S tetap yakin dan terus berdoa setiap harinya agar dikaruniakan keturunan yang soleh. Dan pada akhirnya Allah memberikan keturunan yang soleh kepadanya.
Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (QS:37:100-101)
Manusia itu penuh dengan keterbatasan, Allah lah yang akan memudahkan dan memberikan jalan maka berdoalah, berdoalah, dan terus berdoalah kepadaNya. 
  • Bersegera terhadap Perintah Allah
Nabi Ibrahim A.S selalu bersegera terhadap perintah Allah, yaitu ketika Nabi Ibrahim diperintahkan untuk membawa anaknya yang sangat ia cintai (Ismail A.S) menuju ke makkah bersama dengan ibunya (Siti Hajar). Kala itu makkah adalah negeri yang sangat tandus, sehingga sangat sulit untuk bertahan hidup di sana ditambah perbekalan yang dibawa hanyalah sedikit. Tetapi karena ini adalah perintah Allah, meskipun ia sangat mencintai anak dan istrinya tetapi karena ini adalah perintah Allah maka ia harus tetap menjalankannya.
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”. (QS:14:37)
ketika keluarga kecil Nabi ibrahim tiba di makkah, terjadi dialog yang sangat istimewa yang bisa dijadikan prinsip hidup bagi kaum wanita khususnya. ketika Nabi Ibrahim sudah melangkahkan kakinya meninggalkan istri dan anak yang sangat ia cintai, siti hajar bertanya kepadanya. "Apakah yang kamu lakukan ini adalah perintah Allah?". Sebagai wanita sangatlah wajar merasa keberatan jika ditinggal suaminya di tengah negeri yang tandus, tanpa adanya perbekalan yang cukup. Nabi ibrahim pun menjawab tanpa menoleh ke istrinya "ya, ini adalah perintah Allah". Disini kita akan menemukan kecerdasan dan ketaqwaan yang sangat luar biasa dari siti Hajar. "Jika demikian, maka Allah tidak akan menyia-nyiakan dan menelantarkan kami". Seharusnya beginilah calon-calon ibu yang ingin melahirkan anak-anak yang solih, ia akan sangat yakin bahwa Allah akan selalu menjaga dan mencukupkan rizkinya jika ia sungguh-sungguh menjalankan perintah Allah.
Ujian untuk Ibrahim A.S pun masih belum usai, setelah ia harus meninggalkan putera dan istrinya di negeri yang tandus. Nabi Ibrahim mendapatkan wahyu melalui mimpinya untuk menyembelih puteranya (Nabi Ismail A.S) yang disaat itu usia ismail masih sangat muda. 
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’' (QS:37:102)
Hanya anak yang terlahir dari rahim ibu yang sangat cerdas dan solehah yang bisa menjawab seperti jawaban nabi Ismail A.S. Bagaimana bisa seorang anak remaja yang sejak kecil ditinggal oleh ayahnya di negeri yang tandus, ketika bertemu dengan ayahnya, ayahnya berkata akan menyembelihnya. Inilah pembelajaran yang sangat luar biasa, cara mendidik yang dilakukan oleh siti hajar seharusnya kita jadikan pedoman untuk mendidik putera dan puteri kita agar bisa tumbuh menjadi anak yang soleh dan solehah sehingga bisa dengan ikhlas dan patuh untuk menjalankan perintah Allah.

semoga kita bisa meneladani kisah keluarga kecil Nabi Ibrahim A.S. Semangat berqurban bukanlah semangat yang sifatnya eventual melainkan semangat yang seharusnya ada di setiap hari-hari kita. Semangat untuk mempersiapkan investasi akhirat, bukan semangat untuk menghabiskan uang di mall, di pasar, dan lain-lain. Semangat berqurban juga tidak ada batasan usia, siapa saja boleh melakukannya. Tua ataupun muda seharusnya terbiasa berqurban dengan tenaganya, rizkinya, hartanya di jalan Allah. Bukan masalah kuantitasnya, tetapi kesungguh-sungguhan untuk mengorbankannya di tengah keterbasan masing-masing.

Al-Hakim telah meriwayatkan dalam Mustadraknya (no. 2421) dari hadits Basyir bin al-Khashashiyyah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam untu berbai'at masuk Islam. Maka beliau mensyaratkan kepadaku:

"Engkau bersaksi  tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, engkau shalat lima waktu, berpuasa Ramadhan, mengeluarkan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berjihad di jalan Allah."
Dia melanjutkan, "Aku berkata: 'Wahai Rasulullah, ada dua yang aku tidak mampu; Yaitu zakat karena aku tidak memiliki sesuatu kecuali sepuluh dzaud (sepuluh ekor unta) yang merupakan titipan dan kendaraan bagi keluargaku. Sedangkan jihad, orang-orang yakin bahwa yang lari (ketika perang) maka akan mendapat kemurkaan dari Allah, sedangkan aku takut jika ikut perang lalu aku takut mati dan ingin (menyelamatkan) diriku."
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menggenggam tangannya lalu menggerak-gerakkannya. Lalu bersabda,

"Tidak shadaqah dan tidak jihad? Dengan apa engkau masuk surga?"
Basyir berkata, "Lalu aku berkata kepada Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, aku berbaiat kepadamu, maka baitlah aku atas semua itu." (Imam al-Hakim berkata: Hadits shahih. Al-Dzahabi menyepakatinya)
 
Sesungghunya jika ada kesalahan maka itu adalah kelalaian dari penulis semata, semoga Allah mengampuni kita semua.