Kamis, 19 November 2015

KH. Abdul Hasib, Lc (Dekat dengan Keluarga)

Banyak yang bilang jika masa kecil adalah masa yang paling membahagiakan tetapi nampaknya pendapat seperti itu tak berlaku bagi dul, begitulah sapaan beliau di waktu beliau kecil. Karena di masa kecil yang seharusnya membahagiakan beliau harus menerima takdir yang saat itu tak berpihak padanya. Sang ayah meninggal. Ya di umur yang sangat kecil, dul menjadi anak yatim. Meskipun dul saat itu adalah anak bontot tapi bukan berarti dul menjadi raja di ‘gubuk’ rumahnya. Tetapi mungkin moment sulit itulah yang membuat dul sangat dekat dengan keluarganya.
Sejak berkeluarga, beliau mengajarkan kepada anak-anaknya untuk berbakti kepada orang tua. Hal itu beliau ajarkan bukan dengan kata-kata kosong belaka yang berlalu beriringan dengan hembusan angina saja, melainkan melalui action beliau yang setiap pekannya mengajak keluargnya untuk mengunjung rumah ibundanya, Hj. Salbiah. Tak lupa sesekali beliau juga mengajak keluarganya untuk mengunjungi rumah mertuanya walau hanya sekedar menengok, menanyakan kabar, atau mungkin hanya sekedar mendengarkan cerita dari sang mertua. Pernah saya menyaksikan sendiri betapa sayangnya dul terhadap ibundanya, kejadian ini kira-kira sudah cukup lama kurang lebih pada tahun 2011. Ketika itu ibunda sedang sakit, hanya mampu berbaring lemas di atas tempat tidur. Saat itu dul berkunjung untuk menjenguk dan mendoakan kesembuhan ibunda, sesampai dul di rumah ibunda beliau bergegas masuk ke kamar ibunda dan ikut berbaring di samping ibuda beliau. Beliau menghibur, memberikan perhatian, memanjakan ibunda beliau dengan penuh kasih sayang layaknya seorang bapak yang sedang memanjakan putrinya yang sedang sakit. Kedekatan mereka begitu hangat, dan sesekali dul memanjatkan doa untuk kesembuhan ibunda yang begitu beliau cintai. Dul memang sangat dekat dengan ibundanya, tak berkurang sedikitpun kasih sayang dan rasa bakti beliau terhadap ibundanya meskipun dul sempat melanjutkan studinya di arab Saudi. Begitu pula ibundanya, sang ibu sangat bangga terhadap beliau. Setiap cucunya berkunjung ke rumahnya untuk sekedar melepas kerinduan karena hamper semua cucunya menjadi santri atau pun perantau sehingga sangat jarang bertemu dengan beliau, ia selalu menceritakan masa kecil dul yang memprihatinkan tetapi ia bisa survive hingga bisa menyelesaikan studinya di UI dengan gelar sarjana muda dan melanjutkan studinya di arab Saudi, selain itu juga sejak Madrasah Tsanawiyah dul juga selalu menjadi yang terbaik di bidang akademik. Hingga belakangan ini beliau disibukkan dengan kehadiran cucunya yang begitu beliau cintai, dan menjadi tempat beliau melepas kepenatan setelah seharian sibuk dengan aktivitas yayasan yang luar biasa padat. meskipun lelah dengan aktivitas yang luar biasa padat setiap harinya tetapi beliau tidak pernah absen untuk bercengkrama dengan sang cucu, hingga jika sehari saja cucunya tak hadir di rumah pasti beliau menanyakan kehadiran sang cucu. Terkadang beliau mengajak sang cucu bermain bola meskipun cucunya seorang putri, atau mengajari cucunya mengaji, atau hanya sekedar bercengkrama biasa tetapi memang seperti itulah beliau, dekat dan hangat dengan keluarganya meskipun aktivitas beliau sangat padat, meskipun waktu yang beliau memiliki habis untuk membina umat tetapi beliau tak pernah absen untuk duduk bersama keluarganya meskipun hanya sekedar sarapan bersama atau menikmati siaran berita di tv bersama-sama keluarga.
Ada yang bilang air mata adalah salah satu tanda ketulusan. Teramat jarang saya menyaksikan air mata beliau menetes dari pelupuk mata beliau yang penuh harapan. Seingat saya hanya dua kali saya menyaksikan beliau meneteskan air mata. Yang pertama, ketika beliau menikahkan putri pertamanya. Putri yang begitu beliau cintai dan begitu beliau banggakan, dengan segudang pencapaian luar biasa yang tak lepas dari arhan serta bimbingan beliau. Yang kedua ketika beliau harus menyaksikan sang ibunda tertidur lemas di atas tempat tidur dan tebata-bata dalam doa seakan sang ibunda sudah sangat lemah tak berdaya menahan sakit. Terdengar suara lirih namun tebata dari mulut sang ibunda seutas doa, “Allahumma anta robbi laa ilaha illa anta, kholaqtani wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu. A’udzu bika min syarri maa shona’tu, abuu-u laka bini’matika ‘alayya, wa abuu-u bi dzanbi, faghfirliy fainnahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta”
 [Ya Allah! Engkau adalah Rabbku, tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau] menyaksikan kejadian seperti itu beliau menetaskan air mata dan hanyut dalam keheningan. Entah hal apa yang ada di dalam benak beliau, tetapi saya sangta yakin beliau tak mampu berkata-kata karena beliau begitu mencintai ibundanya.

Sosok beliau yang hangat dengan keluarga tidak bisa digantikan, tebak-tebakan jenaka beliau taka da yang bisa mengalahkan, sosok tegas dan disiplin beliau selalu berkesan, harapan-harapan beliau selalu menjadi cita-cita kami untuk mewujudkannya menjadi sebuah kenyataan. Keheningan malam dalam sujud beliau selalu mengingatkan kami, sedekat apapun kita dengan manusia tetap harus lebih dekat dengan Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar