Banyak yang bilang jika masa kecil
adalah masa yang paling membahagiakan tetapi nampaknya pendapat seperti itu tak
berlaku bagi dul, begitulah sapaan beliau di waktu beliau kecil. Karena di masa
kecil yang seharusnya membahagiakan beliau harus menerima takdir yang saat itu
tak berpihak padanya. Sang ayah meninggal. Ya di umur yang sangat kecil, dul
menjadi anak yatim. Meskipun dul saat itu adalah anak bontot tapi bukan berarti
dul menjadi raja di ‘gubuk’ rumahnya. Tetapi mungkin moment sulit itulah yang
membuat dul sangat dekat dengan keluarganya.
Sejak berkeluarga, beliau mengajarkan
kepada anak-anaknya untuk berbakti kepada orang tua. Hal itu beliau ajarkan
bukan dengan kata-kata kosong belaka yang berlalu beriringan dengan hembusan
angina saja, melainkan melalui action beliau yang setiap pekannya mengajak
keluargnya untuk mengunjung rumah ibundanya, Hj. Salbiah. Tak lupa sesekali
beliau juga mengajak keluarganya untuk mengunjungi rumah mertuanya walau hanya
sekedar menengok, menanyakan kabar, atau mungkin hanya sekedar mendengarkan
cerita dari sang mertua. Pernah saya menyaksikan sendiri betapa sayangnya dul
terhadap ibundanya, kejadian ini kira-kira sudah cukup lama kurang lebih pada
tahun 2011. Ketika itu ibunda sedang sakit, hanya mampu berbaring lemas di atas
tempat tidur. Saat itu dul berkunjung untuk menjenguk dan mendoakan kesembuhan
ibunda, sesampai dul di rumah ibunda beliau bergegas masuk ke kamar ibunda dan
ikut berbaring di samping ibuda beliau. Beliau menghibur, memberikan perhatian,
memanjakan ibunda beliau dengan penuh kasih sayang layaknya seorang bapak yang
sedang memanjakan putrinya yang sedang sakit. Kedekatan mereka begitu hangat,
dan sesekali dul memanjatkan doa untuk kesembuhan ibunda yang begitu beliau
cintai. Dul memang sangat dekat dengan ibundanya, tak berkurang sedikitpun
kasih sayang dan rasa bakti beliau terhadap ibundanya meskipun dul sempat
melanjutkan studinya di arab Saudi. Begitu pula ibundanya, sang ibu sangat bangga
terhadap beliau. Setiap cucunya berkunjung ke rumahnya untuk sekedar melepas
kerinduan karena hamper semua cucunya menjadi santri atau pun perantau sehingga
sangat jarang bertemu dengan beliau, ia selalu menceritakan masa kecil dul yang
memprihatinkan tetapi ia bisa survive hingga bisa menyelesaikan studinya di UI
dengan gelar sarjana muda dan melanjutkan studinya di arab Saudi, selain itu
juga sejak Madrasah Tsanawiyah dul juga selalu menjadi yang terbaik di bidang
akademik. Hingga belakangan ini beliau disibukkan dengan kehadiran cucunya yang
begitu beliau cintai, dan menjadi tempat beliau melepas kepenatan setelah
seharian sibuk dengan aktivitas yayasan yang luar biasa padat. meskipun lelah
dengan aktivitas yang luar biasa padat setiap harinya tetapi beliau tidak
pernah absen untuk bercengkrama dengan sang cucu, hingga jika sehari saja
cucunya tak hadir di rumah pasti beliau menanyakan kehadiran sang cucu.
Terkadang beliau mengajak sang cucu bermain bola meskipun cucunya seorang
putri, atau mengajari cucunya mengaji, atau hanya sekedar bercengkrama biasa
tetapi memang seperti itulah beliau, dekat dan hangat dengan keluarganya
meskipun aktivitas beliau sangat padat, meskipun waktu yang beliau memiliki
habis untuk membina umat tetapi beliau tak pernah absen untuk duduk bersama
keluarganya meskipun hanya sekedar sarapan bersama atau menikmati siaran berita
di tv bersama-sama keluarga.
Ada yang bilang air mata adalah salah
satu tanda ketulusan. Teramat jarang saya menyaksikan air mata beliau menetes
dari pelupuk mata beliau yang penuh harapan. Seingat saya hanya dua kali saya
menyaksikan beliau meneteskan air mata. Yang pertama, ketika beliau menikahkan
putri pertamanya. Putri yang begitu beliau cintai dan begitu beliau banggakan,
dengan segudang pencapaian luar biasa yang tak lepas dari arhan serta bimbingan
beliau. Yang kedua ketika beliau harus menyaksikan sang ibunda tertidur lemas
di atas tempat tidur dan tebata-bata dalam doa seakan sang ibunda sudah sangat
lemah tak berdaya menahan sakit. Terdengar suara lirih namun tebata dari mulut
sang ibunda seutas doa, “Allahumma anta robbi laa ilaha illa anta,
kholaqtani wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu. A’udzu
bika min syarri maa shona’tu, abuu-u laka bini’matika ‘alayya, wa abuu-u bi
dzanbi, faghfirliy fainnahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta”
[Ya Allah! Engkau adalah Rabbku, tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau] menyaksikan kejadian seperti itu beliau menetaskan air mata dan hanyut dalam keheningan. Entah hal apa yang ada di dalam benak beliau, tetapi saya sangta yakin beliau tak mampu berkata-kata karena beliau begitu mencintai ibundanya.
[Ya Allah! Engkau adalah Rabbku, tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau] menyaksikan kejadian seperti itu beliau menetaskan air mata dan hanyut dalam keheningan. Entah hal apa yang ada di dalam benak beliau, tetapi saya sangta yakin beliau tak mampu berkata-kata karena beliau begitu mencintai ibundanya.
Sosok
beliau yang hangat dengan keluarga tidak bisa digantikan, tebak-tebakan jenaka
beliau taka da yang bisa mengalahkan, sosok tegas dan disiplin beliau selalu
berkesan, harapan-harapan beliau selalu menjadi cita-cita kami untuk
mewujudkannya menjadi sebuah kenyataan. Keheningan malam dalam sujud beliau
selalu mengingatkan kami, sedekat apapun kita dengan manusia tetap harus lebih
dekat dengan Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar